Berbicara
mengenai pendidikan akan selalu menjadi bahasan yang sangat menarik. Bagaimana
tidak, sejak dahulu pendidikan formal ditingkat Sekolah Dasar adalah salah satu
permasalahan utama yang menjadi perhatian bagi bangsa kita. Ironisnya masalah
pendidikan ini masih saja sama belum diatasi secara menyeluruh. Seperti soal
ketidakmerataan pendidikan.
Kunjungan
swara kampus Kedaulatan Rakyat, sabtu (30/04/2016) di salah satu Sekolah Dasar
yang letaknya dilereng gunung merapi tepatnya di desa Tambakan Bimomartani,
Sleman. SD Muhammadiyah Macanan namanya. Kecil, terpencil, dan sederhana.
Apa
kabar pendidikan Indonesia didaerah yang sulit dijangkau, tertingal dan
perbatasan? Pertanyaan seperti itulah yang sering muncul dibenak kita ketika
membicarakan masalah pendidikan. Seperti halnya di Sekolah Dasar yang saya dan
rekan-rekan kunjungi. Sekolah dengan fasilitas yang seadanya, bangunan yang
dapat dibilang sudah cukup memadahi namun masih jauh apabila dibandingkan
dengan sekolah yang letaknya dikota. Banyak masyarakat sekitar yang kurang
peduli terhadap pendidikan. Latar belakang dari pendidikan masyarakat setempat
yang hanya lulusan SMA/SMP yang menjadikan kurangnya rasa kepedulian terhadap
pendidikan. Padahal pendidikan adalah pondasi suatu bangsa untuk mencapai
keterdepanan. “sekolah dipinggiran yang jauh dari kota, tapi sekolah ini ada”
ujar ibu Ailis safitri selaku kepala sekolah di SD Muhammadiyah Macanan tersebut.
Berada di daerah pinggiran atau perbatasan dan sulit untuk dijangkau pastinya
menjadi kendala bagi sekolah tersebut.
Walaupun
berada didaerah pinggiran atau perbatasan, sekolah tersebut menawarkan program
yang tidak kalah dengan sekolah di kota. Tapi tentunya, pelaksanaan program
tidak semaksimal sekolah di kota yang mudah dalam bidang akses dibanding dengan
sekolah tersebut. Proses pendidikan masih terbatas dalam bidang akses, sarana
dan prasarana. Untungnya, kepala sekolah dengan sigap dan tekad yang kuat
memberikan yang terbaik untuk sekolah tersebut.
Jika
berbicara mengenai keterbatasan yang ada, yang perlu menjadi sorotan adalah
kurangnya tenaga pendidik disekolah tersebut. Tidak relevan antara jumlah
tenaga pendidik dengan peserta didik. Dimana jumlah tenaga pendidik hanya 14
orang sedangkan peserta didik dari kelas satu sampai kelas enam sekitar 180
peserta didik. Jumlah ini sangat jauh rentangnya. Sehingga pendidik pastinya
sering kewalahan dalam mengatasi hal tersebut. Sedihnya lagi, tenaga pendidik
disekolah tersebut belum ada yang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sedangkan
pendidik yang sudah tersertifikasi baru empat orang pendidik. Ini patut menjadi
sorotan bagi pemerintah. Dimana daerah terpencil juga membutuhkan tenaga
pendidik dengan SDM yang bagus dan hidup yang terjamin.
Akan
tetapi dengan berbagai keterbatasan yang ada disekolah tersebut, tidak
menjadikan pendidik merasa terbelakang dan enggan untuk memajukan sekolah.
Namun, dengan keterbatasan yang dialami saat ini, mereka (pendidik) jadikan
sebagai pelajaran untuk tetap selalu melaksanakan tugas dan tanggung jawab
dengan sepenuh hati ikhlas dengan tujuan ingin mencerdaskan anak bangsa.
Memposisikan diri sebagai wali murid di sekolah, menciptakan suasana senang
bagi peserta didik. Dengan rasa senang, maka belajarpun menjadi menyenangkan.
Anak-anak
di sekolah tersebut memiliki keinginan kuat untuk belajar. Apabila ditanya
cita-cita, mereka menjawab ingin menjadi guru, dokter, polwan, polisi, dan
cita-cita yang mulia lainnya. Mereka memiliki inpian yang tinggi dan semangat
yang tak kunjung padam. Mereka akan terus berkembang dan maju lebih jauh lagi.
Mereka adalah generasi emas yang akan membanggakan NKRI.
Selamat hari pendidikan nasional. semoga pendidikan di Indonesia semakin merata, merakyat serta membaik.